Sabtu, 07 Mei 2011

KIKI DALAM KENANGAN

Saya mengenal Kiki saat masuk SMA Perguruan Cikini di Duren Tiga. Persahabatan kami termasuk unik, karena saya tidak pernah satu kelas dengannya, juga dengan dua orang sahabat saya lainnya, Sandra dan Ririn. Di kelas satu, saya masuk ke kelas I.4, Ririn di I.7, Sandra dan Kiki di II.2. Naik ke kelas dua, saya justru terpisah sendiri di II A2.2 dan ketiga sahabat saya itu masuk ke kelas II A2.1. Kami biasa bermain berempat. Karena postur tubuh kami yang termasuk kecil (kecuali Sandra yang lebih tinggi sedikit) kami berempat dijuluki Tim Ceper oleh anak-anak di sekolah.

Tiap jam istirahat, Kiki, Sandra dan Ririn selalu setia menunggu saya keluar kelas untuk pergi ke kantin bersama-sama. Apabila kelas saya yang keluar lebih dulu, maka saya sendirian yang menunggu mereka.

Keceriaan hari-hari kami di sekolah tidak lepas dari kehadiran Kiki yang selalu membawa guyonan segar ke tengah kami. Tidak ada hari tanpa tertawa ‘ngakak’ di sekolah. Ada-ada saja yang kami tertawakan yang tidak lucu menjadi sangat lucu. Sering kami dimarahi orang di Kopaja (bus favorit kami setiap pulang sekolah) karena selalu bikin ribut ditengah bus yang panas dan penuh sesak.

Di kelas pun demikian. Meskipun saya tidak melihatnya langsung karena saya terpisah sendiri, cerita tentang kelucuan Kiki selalu diulang saat kami berempat berkumpul sepulang sekolah. Ia sungguh cerdas dalam melemparkan kalimat-kalimat yang bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak. Ia melihat segala sesuatu dari sisi humor. Suasana akan sangat berbeda ketika ia tidak masuk sekolah. Sepi.

Naik ke kelas tiga, saya pindah dari Perguruan Cikini, melanjutkan ke SMU 14. Tapi persahabatan saya dan Kiki juga Sandra dan Ririn tetap berlanjut. Kami tetap rutin bertemu. Biasanya hari Sabtu sepulang sekolah, kami jalan-jalan ke Blok M. Makan di Kentucky, di Burger King atau Dairy Queen di seputar jalan Melawai Raya. Kami bisa berjam-jam duduk di restoran; ngobrol, ‘ngetawain orang’ , membahas guru-guru yang dimata kami anggap ‘aneh’. Sering saking lamanya kami tidak beranjak dari restoran, pelayan secara tidak langsung mengusir kami dengan mengambil piring dan gelas (kadang masih ada isinya).

Lepas dari sekolah menengah, saya melanjutkan kuliah di IISIP, Kiki dan Ririn masuk ke Universitas Pancasila, Sandra memilih untuk berkarir sebagai pramugari di Garuda Indonesia. Kami masih tetap menyempatkan diri untuk saling bertemu. Terus sampai saat ini, kami menikah dan punya anak.

Akhir tahun 2007 dengan menangis terharu Kiki bercerita kepada saya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Setiap tahun perusahaan tempatnya bekerja mengirimkan tiga orang karyawannya untuk pergi ke Mekah dengan cara diundi. Dengan airmata haru ia menyampaikan pada saya, ia sangat senang karena namanya yang keluar. Menurutnya, ia memang tidak mau menginjakkan kaki ke luar negeri sebelum pergi berhaji. Tidak habis-habisnya ia berujar pada saya, “Kok bisa gue ya De yang kepilih, padahal di kantor kan ada ratusan orang yang ikut diundi…”

Sepulang dari berhaji, Kiki memutuskan memakai jilbab. Namun disisi lain saya perhatikan, kesehatannya mulai sering terganggu. Beberapa kali kami membatalkan janji bertemu karena ia tiba-tiba terserang demam. Kira-kira delapan bulan silam, Kiki menemukan ada yang tidak beres di sekitar lehernya. Saya pun demikian. Saya lihat wajahnya kelihatan lebih bulat. Ia pun mulai mencari tahu dengan mengunjungi beberapa dokter. Dari spesialis penyakit dalam, THT sampai dokter gigi. Jawabannya semua tidak memuaskan. Lehernya masih saja sakit.

Sekitar awal bulan Januari tahun ini, Kiki akhirnya menemukan dokter yang menurutnya mampu menangani penyakitnya, kanker kelenjar getah bening. Ia mulai menjalani perawatan di rumah sakit Medistra. Ia menolak saran saya untuk berobat di Dharmais. Saya menghargai keputusannya, karena ia sendiri yang akan menjalani pengobatan tersebut.

Selama di rumah sakit, setiap ada kesempatan saya berusaha untuk menjenguknya. Di tengah sakitnya, ia masih melontarkan gurauan-gurauan lucunya. Semangat hidupnya begitu tinggi, membuat saya begitu yakin bahwa ia pasti sembuh. Pernah dalam satu masa, jari-jarinya begitu sangat sakit, sehingga ia tidak mampu menekan keypad handphonenya. Saya yang setiap hari mengirim ucapan selamat pagi melalui mesengernya begitu kuatir, kenapa tidak ada lagi jawaban seperti biasanya.

Pernah juga telinganya mengeluarkan darah, sehingga ia tidak bisa mendengar. Jadi saat saya datang menjenguknya, kami berdua hanya saling senyum dan tangan kami saling menggenggam. Kiki tidak pernah mengeluh dalam sakitnya. Hanya sekali ia menangis sambil bercerita pada saya, bahwa ada yang mengatakan padanya bahwa penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Kalau benar begitu, sungguh tega yang mengatakan hal itu padanya.

Kemoterapi yang harus dijalani Kiki sebagai upaya penyembuhannya tidak berjalan mulus. Jumlah trombositnya hanya berkisar 15000an, setelah ditransfusi trombosit pun cuma sampai di angka 30000. Setiap dua hari sekali ia harus transfusi trombosit, dan itu sudah berjalan selama hampir tiga bulan. Dengan jumlah trombosit yang demikian, kecil kemungkinan dokter berani melakukan tindakan kemoterapi untuknya.

Dua minggu lalu saya kembali menengoknya. Saya lihat dia kelihatan lebih segar. Kami berdua tidak habis-habisnya tertawa, mengingat kejadian masa-masa kami di SMA. Saya begitu bahagia melihat seringai lebarnya. Saya masih yakin ia akan sembuh. Saat pamit, seperti biasa matanya berkaca-kaca. Kiki selalu menangis bila saya harus pulang. “I love you De…” katanya. “I love you too Ki…cepet sembuh ya…semangat…’ begitu jawab saya seperti biasanya. Sungguh-sungguh saya tidak amenyangka, bahwa itulah kalimat terakhir yang saya dengar darinya.

Minggu, jam 16.30 tanggal 3 April 2011; Kiki pergi untuk selamanya setelah selama lima hari menjalani kemoterapi. Ia meninggal dalam tidurnya. Saya kaget luar biasa. Betapa saya sangat tidak siap melihatnya pergi. Semangat hidupnya yang begitu besar, sungguh menutup mata saya untuk melihat realitas yang sebenarnya. Bahwa penyakitnya memang sudah sangat parah.

Tapi Tuhan memang maha baik. Ia tentu tidak mau membiarkan Kiki terus berada dalam penderitaannya. Kiki bukan hanya sekedar sahabat dalam diri saya, dia adalah saudara perempuan saya dan juga belahan jiwa saya…Saya harus merelakan dia pergi, meski kini masih terasa sedih saat teringat masa-masa bersamanya.

Salah satu pojok di Starbucks Café di Plaza Senayan, adalah tempat favorit kami. Tempat kami berdua duduk sepanjang malam; tertawa, berkeluh kesah, minum Ice Green Tea kesukaannya…sampai bangku-bangku café dinaikkan ke atas meja, sampai lantai café disapu dan dipel, sampai lampu-lampu café dimatikan…

Selamat jalan Kiki sayang…*

Selasa, 29 September 2009

Bila Aku Sedang Berdoa

Bila aku sedang berdoa
Jangan aku diganggu
Aku kini sedang berdoa
Jangan aku diganggu
Aku berdoa malam ini
Supaya Tuhan menjagaku

*Karya sajak pertama, dimuat di Harian Kompas 1975
saat penulis duduk di bangku TK Baptis Elim, Grogol